Selasa, 12 Oktober 2010

SEJARAH KABUPATEN PROBOLINGGO #2

ERA PEMERINTAHAN KABUPATEN

1.      Kyai Djojolelono, Bupati Pertama (1746-1768)

Pada tahun 1746, VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati pertama di Banger (nama Probolinggo saat itu). Beliau adalah putra Kyai Boen Djolodrijo, Patih Pasuruan.
Kyai Boen Djolodrijo pernah dihukum oleh Kompeni dan kebetulan berkumpul dalam satu penjara dengan Untung Suropati dan tahanan lainnya. Ada yang mengatakan, bahwa beliau asalnya adalah keturunan Cina, yang namanya Kiem Boen. Beliau menjadi pengikut setia, bahkan menjadi penasehat Untung Suropati dalam perjuangan melawan Kompeni. Untung Suropati yang terkenal sebagai musuh utama Kompeni, pada akhirnya dapat menduduki Pasuruan dan sekitarnya dan menjadi Bupati, dengan gelar Tumenggung Wironagoro. Sedangkan Kyai Boen Djolodrijo ditetapkan sebagai Patihnya. Dalam perjuangannya melawan Kompeni, Suropati akhirnya gugur pada tahun 1706.
Sebagai Bupati, Kyai Djojolelono mendapat gelar “Tumenggung”. Tetapi gelar itu tidak dipakainya. Kantor Kabupaten berada di desa Kebonsari Kulon. Karena daerahnya sangat miskin, pajak yang diberikan kepada Kompeni, hanya berupa tiga pikul padi.
Pada saat bersamaan, daerah Tengger merupakan daerah yang berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang Patih, bernama “Panembahan Semeru”. Bagi penduduk Tengger (Ngadisari), Panembahan Semeru lebih dikenal dengan nama “Mbah Meru”, yang menurut penuturan turun-temurun, pernah berselisih dengan “Kanjeng Banger”.
Sejarah menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1723, hanya didaerah Tengger keturunan Untung Suropati masih tetap terus menentang Kompeni. Berbeda dengan kebanyakan tempat lainnya di Jawa yang keadaanya telah aman.
Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa Panembahan Semeru tersebut, adalah keturunan Suropati, yang belum juga tunduk kepada Kompeni. Sekalipun pada umumnya pada tahun 1743 Kompeni telah dapat menguasai seluruh daerah sebelah timur Pasuruan. Tetapi khusus daerah Tengger, masih belum dapat ditaklukkan. Demikian pula sangat mungkin bahwa Panembahan Semeru hanya dalam anggapan Kompeni sebagai Patih yang berdiri sendiri.
Menggunakan politik adu domba pihak Belanda yang terkenal, Kyai Djojolelono diajukan untuk menghadapi Panembahan Semeru. Hal ini meneybabkan Kyai Djojolelono selalu dalam suasana konflik dengan Panembahan Semeru. Pokok perselisihannya adalah batas-batas daerah keduanya.
Suatu ketika Kyai Djojolelono mengundang Panembahan Semeru untuk datang ke desa Paras, dengan maksud merundingkan perbatasan daerahnya. Panembahan Semeru menerima baik undangan dimaksud, dan hadir ke Paras dengan diiringi oleh beberapa orang abdinya.
Kyai Djojolelono mengambil tempat duduk dekat Panembahan Semeru. Perundingan belum dimulai, namun tiba-tiba Kyai Djojolelono menikam Panembahan Semeru dengan kerisnya. Sesaat sebelum ajalnya tiba, Panembahan Semeru sempat mengeluarkan kata-kata kutuknya: “Khianat! Akan mudah juga pembalasannya. Putra Mahkota dari Surabaya akan membalasnya sebagai gantiku”. Sesudah itu mangkatlah beliau. Jenazahnya dibawa pulang kembali oleh para abdinya. Makam Panembahan Semeru (Mbah Meru) kini masih ada di desa Ngadisari yang disebut oleh penduduk desa itu Makam Bakalan atau dinamakan juga Makam Kuasa.
Tempat tumpahan darah Panembahan Semeru di desa Paras (Kecamatan Banyuanyar, Kawedanan[1] Gending sekarang), hingga kini masih ada yang menghormatinya sebagai “Pepunden”.  Tempat itu terkenal dengan nama “Kramat Paras”, berupa batu paras (padas), dengan ditumbuhi pohon beringin.
Dalam kehidupan Kyai Djojolelono selanjutnya, dapat diteliti bahwa beliau juga mewarisi darah ayahnya dalam menentang Kompeni (Belanda). Dapat diduga, bahwa beliau menyesali tindakannya telah membunuh Panembahan semeru, karena tipu muslihat Kompeni dengan cara adu domba sesama bangsanya. Timbul rasa menentang terhadap segala tindakan Belanda. Sebagai bukti permusuhannya, akhirnya beliau melepaskan jabatan Bupati itu, dengan menyingkir juga dari rumah Kabupaten (pada tahun 1768). Beliau mengembara, yang mungkin beliau berusaha menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap Kompeni.
Sangat besar kemungkinannya, bahwa nama beliau “Djojolelono”, diambil dari tindakan pengembaraan beliau itu.
Pada akhirnya Kyai Djojolelono dapat ditangkap oleh Raden Tumenggung Djojonagoro, Bupati pengganti beliau sendiri. Selanjutnya setelah wafat, beliau dimakamkan di pesarean “Sentono”, di desa Mangunharjo. Banyak orang yang menganggap makam Sentono makam keramat.
Mayor Han Kek Koo menjabat Bupati Probolinggo, yang mendapat sebutan Babah Tumenggung. Kantor Kabupaten berada disebelah selatan Alun-alun, tempat Kabupaten yang sekarang.
Dalam perkembangan penjualan tanah tersebut, Daendles memaksakan untuk mengeluarkan uang kertas, yang terkenal dengan nama Uang Kertas Probolinggo (Probolinggo Papier), tetapi tidak mendapat sambutan dan tanggapan yang baik dari rakyat umumnya.
Karena sikapnya yang kejam dan kelobaan Daendles dirasakan berbahaya bagi Pemerintahan Belanda, maka da dipanggil pulang kembali pada tahun 1811.

2.      Zaman  Pemerintahan Inggris  (1811-1816)

Sir Thomas Stamford Raffles ditetapkan menjadi Letnan Gubernur Jendral di Jawa dan daerah taklukannya. Pemerintahan Raffles mengalami kesulitan keuangan yang berp                                               engaruh pada angsuran pembayaran tanah-tanah yang dijual oleh Daendels. Demikian pula halnya dengan Mayor Han Kek Koo. Mayor Han Kek Koo berusaha sekeras-kerasnya untuk dapat melunasi pembayaran itu, dengan segala tindakan dan pemerasan terhadap rakyat yang serba kekurangan. Tekanan yang berat itu mengakibatkan meletusnya pemberontakan melawan “Babah Tumenggung”, pada tanggal 13 Mei 1813 M. (Kamis Pon, 12 Djumadil Awal 1740 Çaka).
Pada hari itu diadakan sebuah acara keramaian di rumah (dinas) Kabupaten Babah Tumenggung yang dihadiri juga oleh Pemimpin Pemerintahan Inggris di Probolinggo, Kolonel Prijser. Keramaian secara besar-besaran dengan jamuan makan, minum-minuman dan tari-tarian. Ketika itu berkobar pemberontakan di desa Kedopok, yang dipimpin oleh Ki Demang Wonosari.
Ki Demang Wonosari bernama Mbah Srendaka, berasal dari daerah Tengger. Wonosari sekarang dikenal sebagai (desa) Ngadisari. Pemberontakan tersebut dihadapi oleh Babah Tumenggung Han Kek Koo dengan tentaranya, serta diikuti juga oleh Kolonel Prisyer, dengan terjun langsung ke tempat peristiwa. Sungguh di luar dugaan, Ki Demang Wonosari meraih kemenangan di desa Muneng. Taktik yang digunakan Ki Demang Wonosari adalah dengan menggunakan perangkap, yakni menggali sebagian jalan (di area yang lazim disebut Asem Loros) di Muneng, diatasnya ditutup dengan tanah dan tumbuh-tumbuhan. Babah Tumenggung dan Kolonel Prijser tewas di tempat.
Ki Demang Wonosari dapat menguasi Kabupaten. Tetapi tidak lama, karena pada tanggal 20 Mei 1813, datang bala bantuan dari Pasuruan (ada yang menyebutkan dari Surabaya). Pertempuran kedua berkobar lagi di daerah antara Tongas dan Probolinggo. Ki Demang Wonosari mundur ke Wonosari (Ngadisari). Sesampainya di sana terus menghilang, yang hingga kini tiada terdapat makamnya.
Memerhatikan peristiwa tersebut, Raffles mengambil suatu kebijaksanaan untuk menebus kembali tanah-tanah itu dari ahli waris Mayor Han Kek Koo, sehingga daerah Probolinggo tidak lagi menjadi tanah partikelir. Dengan demikian penduduk Probolinggo terlepas dari adat kebiasaan yang berlaku dalam tanah-tanah partikelir, yaitu semacam perbudakan.


1.    Sekarang (saat buku ini diketik ulang) istilah “Kawedanan” sudah dihapus

Minggu, 26 September 2010

SEJARAH KABUPATEN PROBOLINGGO #1

Berikut ini saya coba sajikan Sebuah Catatan Penting mengenai Sejarah Kabupaten Probolinggo.
Sengaja diposting secara bertahap mengingat banyaknya materi yang harus saya unggah.
Sejarah ini saya salin dan sunting seperlunya dari sebuah fotokopi buku milik (alm.) kakek saya.
Buku asli berupa tulisan tangan dan disusun oleh Tim Penyusun Sedjarah
Kabupaten Probolinggo beranggotakan 5 orang, yakni:
Ibnu Said, Nursohib Hudan, SH, Abd. Sjukur, Achmad Munasir dan Abu Jazid.

SELAMAT MENIKMATI...



SEJARAH KABUPATEN PROBOLINGGO

    
Sebelum Terbentuk Menjadi Daerah Kabupaten

   Era Kerajaan Majapahit

Daerah Probolinggo memang tidak kaya dalam peninggalan-peninggalan sejarah. Hal ini dapat diteliti dari keadaan dan kedudukan daerah ini pada waktu itu.
Lahirnya nama PROBOLINGGO terhitung baru dalam percaturan sejarah, yakni baru tahun 1770. Sedang nama sebelumnya, menurut tulisan-tulisan pada tahun 1335, adalah BANGER, merujuk sebuah nama sungai yang terdapat di daerah ini.
Untuk meneliti sejarah pertumbuhan daerah ini, dapat  dimulai dengan menjelajahi  kembali perjalanan Prabu Rajasanagara (Sri Hayam Wuruk), Raja Majapahit IV (1350-1389), yang pernah melintasi daerah ini dalam perjalanan dalam rangka pemeriksaan kedaerah-daerah wilayahnya. Dalam catatan perjalanan itu, yang ditulis oleh Prapanca, Pujangga kerajaan Majapahit, terdapat nama-nama tempat di daerah Kabupaten Probolinggo, yang hingga kini masih ada.
Nama-nama tempat itu ialah Tongas, Hambulutraya (sekarang Ambulu), Baremi (sekarang Bremi dalam daerah Kota), Binor, Jabung, Pajarakan, Ketompen (di daerah Pajarakan), Sagara (Segaran di Tiris), Gending, Borang (Wiroborang dalam daerah Kota). Adapula beberapa nama yang kurang jelas  terletak di mana sekarang. Dengan terdapatnya nama-nama yang tercatat dalam perjalanan Sri Hayam Wuruk pada tahun 1359 (Tahun 1287 Çaka), sedikit memberikan landasan sejarah tentang keadaan daerah Probolinggo.

      Era Kerajaan Blambangan

Blambangan telah berdiri sejak zaman Majapahit (era Sri Hayam Wuruk). Merupakan sebuah daerah yang dikuasakan kepada Prabu Wirabumi (Putra Hayam Wuruk dari selir). Setelah Sri Hayam Wuruk mangkat (1389), Prabu Wirabumi tersebut bersikap sebagai raja merdeka. Hal ini disebabkan karena tidak puasnya Prabu Wirabumi terhadap pengganti Sri Hayam Wuruk, menjadi Raja Majapahit.

Peristiwa ini pada akhirnya menimbulkan perang saudara, disebut Perang Paregreg  tahun 1401-1406, yang merupakan awal runtuhnya kerajaan Majapahit.
Akhirnya, Blambangan merupakan sebuah kerajaan Hindu yang kuat. Luas daerahnya meliputi sebagian besar daerah-daerah Karesidenan Besuki (sekarang) dan bekas Karesidenan Probolinggo dahulu.
Daerah Probolinggo menjadi bagian dari Blambangan, yang letaknya pada tepi perbatasan, merupakan daerah penyanggah (bufferstaat), yang sering menjadi medan peperangan.
Peperangan-peperangan antara Blambangan dengan kerajaan lainnya sering terjadi antara lain:
      a)      Serangan Sultan Trenggono, Demak (1500-1546);
      b)      Serangan Sultan Agung, Mataram (1613-1645), tejadi beberapa kali;
      c)      Serangan Amangkurat I, Sultan Tegalwangi, Mataram (1645-1677);
      d)     Serangan Kompeni (VOC 1767).
Sesudah terjadinya peperangan pada tahun 1637, pada tahun 1639 ditaklukkan oleh Sultan Mataram. Kemudian karena kesulitan melepaskan diri dari pengaruh Raja-raja Bali, penduduknya menjadi sangat berkurang, dengan memindahkannya sebagai budak ke Mataram.
Di tanah tidak bertuan antara Blambangan dan Kerajaan Mataram, banyak ditempati gerombolan-gerombolan asing atau pengacau-pengacau, seperti:
      - Dari tahun 1674 sampai dengan tahun 1680, orang-orang Makasar dan Madura (zaman  Trunojoyo);
      - Dari tahun 1686 sampai dengan tahun 1768, Suropati dengan pengikut dan keturunannya;
      - Dari tahun 1720 sampai dengan tahun 1723, Pangeran Blitar dan Purbaja; dan
      - Sesudah tahun 1775, Pangeran Singosari.
Setelah Kompeni dapat meredakan Mataram (tahun 1723), Kompeni melarang orang tinggal di daerah Malang, Probolinggo, Lumajang, Panarukan hingga batas Blambangan. Padi dan lain-lain dimusnahkan, siapa yang tidak mau pindah, dibunuh. Kompeni menginginkan ketentraman dan aman dari gangguan penduduk pribumi.

Dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II (Mataram), maka seluruh daerah di sebelah timur Pasuruan diserahkan kepada Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), tahun 1973. Tetapi Kompeni tidak banyak mendapat keuntungan di daerah-daerah itu, bahkan pengganggu keamanan masih banyak bersembunyi.
Demikian dapat diteliti daerah Probolinggo ini dahulu (sebelum terbentuknya menjadi daerah Kabupaten), yang merupakan daerah perbatasan tempat arena peperangan, penduduknya tidak banyak, sehingga merupakan tempat yang tidak makmur.


bersambung....

EMBUNG SUMBERKARE

Bagai petir di siang bolong ketika mendapat informasi bahwa rombongan KUSUMA Club sudah melintasi perempatan Laweyan. Sementara aku dan seorang rekan menunggu mereka di traffic light Wonoasih. Harus mengejar mereka? Ya!, tak ada pilihan lain. Terbayang di benak sebuah perjuangan yang akan melelahkan. Mengejar rombongan sepeda onthel dengan sepeda onthel pula. Tentu kami berdua harus mengayuh pedal sepeda dengan kecepatan lebih tinggi dari dari mereka.

Kami pun menyusuri sepanjang jalan Hamka, dari ujung timur sampai barat. Charlie Hill yang melingkar di lengan kananku menunjuk waktu pukul 07.05. Untunglah cuaca agak mendung. Bila tidak, terik matahari akan terasa mulai membakar. Memang, Probolinggo begitu panas bila cuaca sedang cerah. Sampai di SPBU Kareng Lor kucoba menghubungi beberapa anggota rombongan. Tak satu pun yang menjawab. Mungkin ponsel mereka ditaruh di saku celana, tas pinggang atau tas paha sehingga tidak bisa mendengar ringtone atau merasakan vibrasi ponsel.  Huffft.... keringat mulai membasahi tubuh, nafas mulai memburu.

Beberapa menit kemudian sampai juga kami di perempatan Laweyan.
"Permisi Pak, kelihatan rombongan sepeda lewat sini, ga?" tanyaku kepada abang becak yang mangkal di sana.
"Oh, sudah tadi kok, kaosnya seperti yang kamu pakai, mungkin sudah sampai di Patalan" terangnya.
"Oh My God..... Makasih, Pak" jawabku singkat, sembari menyembunyikan rasa kaget dan sedikit keputus-asaan.

Segera kutunggangi lagi Polygon Bike To Work dengan setelan maximum speed. Terbayang jalur yang menanjak di jalan utama menuju Gunung Bromo itu. Nafas mulai ngos-ngosan, harus mengejar teman-teman yang berada lebih kurang 7 km di depan. Semua ini tak kan terjadi jika tadi tidak salah info. Sekitar pukul 06.00 kami berdua diminta oleh seorang teman yang ikut dari titik start untuk menunggu di traffic light Wonoasih. Menurutnya, rute akan melintasi Wonoasih. Sambil menunggu rekan-rekan bikers, kami berdua berinisiatif meminta bantuan seorang Polisi yang ngepos di sana untuk memberikan jalan bila anggota Kusuma melintas. Lalu lintas di perempatan Wonoasih setiap pagi memang lumayan padat dan sibuk bin semrawut. Orang-orang yang berangkat kerja, anak-anak sekolah dan orang-orang yang keluar-masuk pasar lalu lalang menyesaki badan jalan. Ternyata oh ternyata.... Kusuma Club mengubah rute, urung melintasi Wonoasih, memilih menyusuri Jalan Bengawan Solo.

Kami berdua sampai di Pasar Muneng. Kucoba telpon lagi... tidak ada jawaban. Beberapa saat kemudian terdengar nada panggilan HP. Yes....! teriakku dalam hati.
"Halo... wis tutuk ndi Jal..." responku sambil mengatur nafas  mencoba menyembunyikan desah terengah-engah. Sementara kayuhan kaki tetap dengan kekuatan maksimal.
"....emmmmm... ga ngerti pisan iki, sik tas mlebu Sumberkare. Mungkin rong kiloan teko dalam gede" jawabnya.
Anjriiiitttt..... 2 Km dr jalan besar? berarti masih 4 Km di depan? jalan masuk ke arah Pururt masih 2 Km lagi.
"Yuk kita ke kanan, tuh jalan masuk ke Purut" ajak kompatriotku begitu jalan kecil tampak di sisi kanan. Di sana dua orang berpakaian Satpol PP masih stand by.
"Ayo Mas... semangat, teman-teman sudah agak tadi." teriak petugas Satpol PP menyemangati kami.

Kami pun menyusuri jalan ke arah barat. Di awal-awal lumayan datar, tidak seperti jalur Laweyan yang menguras energi. Sementara cuaca mulai cerah dan terik mulai terasa membakar lengan. Beberapa menit kemudian jalanan mulai naik-turun. Jemari tangan kanan dan kiri mulai sibuk memutar tuas pengatur gir depan dan belakang menyesuaikan dengan kondisi jalan. Begitu terlihat sebuah tugu batas desa bertuliskan:  "Selamat Datang Anda Memasuki Desa Sumberkare", hatiku melonjak gembira. Berarti rombongan sudah semakin dekat. Semangat menyala-nyala kembali. Di kejauhan sana tampak sebuah tikungan tajam diikuti jalur menanjak. 'Aku harus bisa menundukkannya' aku membatin. Begitu lepas di tikungan, terpampamg sebuah tanjakan yang amat terjal. Posisi gir kusesuaikan untuk meringankan kayuhan. Perlahan namun pasti Polygonku merayapi jalan menanjak dengan mantap. Nafas semakin memburu, jersey kuyup oleh keringat. Masih menanjak terus... kalau pun ada jalan menurun, tidak seberapa berarti. Ternyata tak sia-sia perjuangan kami. Di depan tampak ada dua orang peserta menuntun sepedanya menaiki tanjakan. 'Alhamdulillah...' syukurku. Ekor rombongan berhasil kami gapai.

"Eh...ini 'kan acara bersepeda, bukan jalan santai.." aku mencandai mereka.
"Oke... silakan lanjut, sementara kami tuntun sampai ke Pos I. Teler neh..." sahutnya dengan mimik memelas.



Semakin naik semakin banyak peserta yang berhasil aku dahului. Aku pun menurunkan kecepatan, memberi kesempatan tubuh agar agak rileks. Kerongkongan terasa kering, dahaga. Di depan terlihat rombongan kecil sedang beristirahat di bawah kerindangan pepohonan. Aku pun bergabung dengan mereka. Kami pun bersenda gurau dan saling gojlog. Peserta lain yang ngengkol mangap-mangap persis Ikan Lohan, tak luput dari sasaran gojlogan kami. Seorang rekan menyodorkan sebotol air putih. Gleg...gleg..gleg... Alhamdulillah....... seger buger tanpa hamburger.
"Makasih, ente pengertian banged sih..." ucapku sembari mengembalikan botol minumnya.
"Bukan begitu Sam..., Aku ga tega ajah liat ente, keknya mo pingsan. Kalo pingsan, wah bisa repot..." guyonnya. Kami pun tertawa lepas.
Setelah capek agak mending, rombongan kecil ini merayapi tanjakan lagi. Info yang kami terima, Pos I sudah dekat, 1 kilo meteran lagi. Benar, tidak sampai 200 m kami sudah bergabung dengan rombongan induk yang menunggu menjelang Pos I. Wajah-wajah mereka semringah penuh kebanggan dapat menaklukkan tanjakan-tanjakan terjal. Kami pun rehat lagi sambil menunggu peserta yang masih berjuang di belakang, termasuk mobil penyapu ranjau. Setelah dipastikan rombongan lengkap, kami diinstruksikan melanjutkan perjalanan menuju Pos I. Nah, ada tantangan tersendiri dari sisa perjalanan menuju Pos I ini, jalan makadam! Roda sepeda merayapi jalan bebatuan. Tubuh pun berguncang-guncang di tengah jalan yang diapit ladang penduduk setempat. Jadi teringat sebuah lagu Ebiet G. Ade: "......tubuhku berguncang, di atas batu jalanan...."



Sekitar 500-an meter tubuh kami berguncang-ria di atas trek makadam. Selanjutnya, kami disuguhi jalan paving stone yang menurun curam. Jemari tangan bergerak lincah mengatur rem. Subhanallah... di depan tampak sebuah bendungan (mungkin karena ukurannya kecil, disebut "Embung"). Aku baru tahu, di Probolinggo juga ada waduk penampung limpahan air. Walaupun tidak begitu luas dan airnya masih sedikit tentu waduk ini amat bermanfaat bagi petani di hilir. Sepertinya, waduk ini baru selesai dibangu. Semua masih tampak baru, termasuk pepohonan perindang di sekitar waduk. Pemandangan di sekitar Embung cukup mengurangi rasa lelah dan panas terik siang itu. Kami pun menikmati minuman dan kolak sambil bercanda. Beberapa anggota Kusuma  Club sibuk saling mengambil foto dengan HP mereka. Tak mau kalah, Nikon Coolpix S520 yang kubawa turut ambil bagian aku juga jeprat-jepret mengabadikan moment indah tersebut.




Cukup lama kami melepaskan penat sambil menikmati alam Embung Sumberkare. Kami bersiap kembali melanjutkan perjalanan ke finish setelah mendengar komando. Bergerak kembali menyusuri makadam, lalu masuk lagi ke Jalan Purut. Jalanan menanjak sebelum akhirnya para bikers belok kanan ke arah Desa Sumberbendo. Sungguh mengasyikkan, setelah tadi berjuang mendaki kini menikmati jalan menurun. Melintasi ladang-ladang dan kebun jati di sepanjang jalan. Jalanan amat sepi sehingga para bikers bebas menyusurinya dengan sedikit kayuhan, tapi kecepatan maksimum. Rombongan kembali terpecah-pecah membentuk kelompok kecil-kecil. Aku berada di kelompok terdepan, yang tidak sampai sepuluh sepeda. Setelah melintasi Pemandian Sumberbendo, di sebuah pertigaan, kelompok kami rehat sambil menunggu kelompok lain yang tercecer di belakang. Agak lama juga kami menunggu semua peserta kembali lengkap.

Saat rehat, di belakang lutut kaki kiriku terasa sakit, sama seperti beberapa minggu lalu saat bersepeda sambil ngabuburit. Begitu rombongan dipastikan komplet, bikers kembali bergerak. Jalan Mastrip adalah tujuan akhir. Sakit di kaki kian terasa, saat mengayuh pedal. Trek aspal mulus dan datar terasa begitu menyiksa. Perjalanan terasa begitu lama. Tapi akhirnya aku pun sampai di finish walupun sambil meringis-ringis menahan sakit. Para bikers menyerbu hidangan di sebuah warung. ah.... nikmat...

#Hamzet

Jumat, 24 September 2010

Reactivated

Peletakan batu permata... ehhh... batu pertama Blog ini sudah setahun yang lalu, yakni pada Hari Jumat tanggal 28 Agustus 2009. Namun bangunan blog ini mangkrak karena berbagi hal. Tolong jangan berpikir penyebab mangkrak adalah krisis finansial sebagaimana nasib banyak bangunan di negeri ini. Swer terkewer-kewer ampe ke pasar klewer... bukan itu penyebabnya. Toh bikin blog amburadul kek gini gratis...tis..tis...

Nah, pada hari ini, Jumat tanggal 24 September 2010 blog ini saya aktifkan lagi. Tentunya dengan semangat membara. Hasrat reaktifasi bukan karena saya dapat wangsit + pangsit, bukan. Tidak pula karena saya merenung dengan amat dalam ampe menghabiskan waktu setahun lebih. Keinginan membangun kembali blog ini dari tidurnya yang terlampau panjang adalah karena seorang karib. Ya! seorang karib saya bernama panggung 'Zuga' lah penyebabnya. Makasih Zuga...

huffft... capek juga... rehat dolo yah... lanjut laen kale... Bye..

Jumat, 28 Agustus 2009

tes...tes...tes....

Tes...tes...tes... satu...dua...tiga... percobaan