Selasa, 12 Oktober 2010

SEJARAH KABUPATEN PROBOLINGGO #2

ERA PEMERINTAHAN KABUPATEN

1.      Kyai Djojolelono, Bupati Pertama (1746-1768)

Pada tahun 1746, VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati pertama di Banger (nama Probolinggo saat itu). Beliau adalah putra Kyai Boen Djolodrijo, Patih Pasuruan.
Kyai Boen Djolodrijo pernah dihukum oleh Kompeni dan kebetulan berkumpul dalam satu penjara dengan Untung Suropati dan tahanan lainnya. Ada yang mengatakan, bahwa beliau asalnya adalah keturunan Cina, yang namanya Kiem Boen. Beliau menjadi pengikut setia, bahkan menjadi penasehat Untung Suropati dalam perjuangan melawan Kompeni. Untung Suropati yang terkenal sebagai musuh utama Kompeni, pada akhirnya dapat menduduki Pasuruan dan sekitarnya dan menjadi Bupati, dengan gelar Tumenggung Wironagoro. Sedangkan Kyai Boen Djolodrijo ditetapkan sebagai Patihnya. Dalam perjuangannya melawan Kompeni, Suropati akhirnya gugur pada tahun 1706.
Sebagai Bupati, Kyai Djojolelono mendapat gelar “Tumenggung”. Tetapi gelar itu tidak dipakainya. Kantor Kabupaten berada di desa Kebonsari Kulon. Karena daerahnya sangat miskin, pajak yang diberikan kepada Kompeni, hanya berupa tiga pikul padi.
Pada saat bersamaan, daerah Tengger merupakan daerah yang berdiri sendiri dan diperintah oleh seorang Patih, bernama “Panembahan Semeru”. Bagi penduduk Tengger (Ngadisari), Panembahan Semeru lebih dikenal dengan nama “Mbah Meru”, yang menurut penuturan turun-temurun, pernah berselisih dengan “Kanjeng Banger”.
Sejarah menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1723, hanya didaerah Tengger keturunan Untung Suropati masih tetap terus menentang Kompeni. Berbeda dengan kebanyakan tempat lainnya di Jawa yang keadaanya telah aman.
Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa Panembahan Semeru tersebut, adalah keturunan Suropati, yang belum juga tunduk kepada Kompeni. Sekalipun pada umumnya pada tahun 1743 Kompeni telah dapat menguasai seluruh daerah sebelah timur Pasuruan. Tetapi khusus daerah Tengger, masih belum dapat ditaklukkan. Demikian pula sangat mungkin bahwa Panembahan Semeru hanya dalam anggapan Kompeni sebagai Patih yang berdiri sendiri.
Menggunakan politik adu domba pihak Belanda yang terkenal, Kyai Djojolelono diajukan untuk menghadapi Panembahan Semeru. Hal ini meneybabkan Kyai Djojolelono selalu dalam suasana konflik dengan Panembahan Semeru. Pokok perselisihannya adalah batas-batas daerah keduanya.
Suatu ketika Kyai Djojolelono mengundang Panembahan Semeru untuk datang ke desa Paras, dengan maksud merundingkan perbatasan daerahnya. Panembahan Semeru menerima baik undangan dimaksud, dan hadir ke Paras dengan diiringi oleh beberapa orang abdinya.
Kyai Djojolelono mengambil tempat duduk dekat Panembahan Semeru. Perundingan belum dimulai, namun tiba-tiba Kyai Djojolelono menikam Panembahan Semeru dengan kerisnya. Sesaat sebelum ajalnya tiba, Panembahan Semeru sempat mengeluarkan kata-kata kutuknya: “Khianat! Akan mudah juga pembalasannya. Putra Mahkota dari Surabaya akan membalasnya sebagai gantiku”. Sesudah itu mangkatlah beliau. Jenazahnya dibawa pulang kembali oleh para abdinya. Makam Panembahan Semeru (Mbah Meru) kini masih ada di desa Ngadisari yang disebut oleh penduduk desa itu Makam Bakalan atau dinamakan juga Makam Kuasa.
Tempat tumpahan darah Panembahan Semeru di desa Paras (Kecamatan Banyuanyar, Kawedanan[1] Gending sekarang), hingga kini masih ada yang menghormatinya sebagai “Pepunden”.  Tempat itu terkenal dengan nama “Kramat Paras”, berupa batu paras (padas), dengan ditumbuhi pohon beringin.
Dalam kehidupan Kyai Djojolelono selanjutnya, dapat diteliti bahwa beliau juga mewarisi darah ayahnya dalam menentang Kompeni (Belanda). Dapat diduga, bahwa beliau menyesali tindakannya telah membunuh Panembahan semeru, karena tipu muslihat Kompeni dengan cara adu domba sesama bangsanya. Timbul rasa menentang terhadap segala tindakan Belanda. Sebagai bukti permusuhannya, akhirnya beliau melepaskan jabatan Bupati itu, dengan menyingkir juga dari rumah Kabupaten (pada tahun 1768). Beliau mengembara, yang mungkin beliau berusaha menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap Kompeni.
Sangat besar kemungkinannya, bahwa nama beliau “Djojolelono”, diambil dari tindakan pengembaraan beliau itu.
Pada akhirnya Kyai Djojolelono dapat ditangkap oleh Raden Tumenggung Djojonagoro, Bupati pengganti beliau sendiri. Selanjutnya setelah wafat, beliau dimakamkan di pesarean “Sentono”, di desa Mangunharjo. Banyak orang yang menganggap makam Sentono makam keramat.
Mayor Han Kek Koo menjabat Bupati Probolinggo, yang mendapat sebutan Babah Tumenggung. Kantor Kabupaten berada disebelah selatan Alun-alun, tempat Kabupaten yang sekarang.
Dalam perkembangan penjualan tanah tersebut, Daendles memaksakan untuk mengeluarkan uang kertas, yang terkenal dengan nama Uang Kertas Probolinggo (Probolinggo Papier), tetapi tidak mendapat sambutan dan tanggapan yang baik dari rakyat umumnya.
Karena sikapnya yang kejam dan kelobaan Daendles dirasakan berbahaya bagi Pemerintahan Belanda, maka da dipanggil pulang kembali pada tahun 1811.

2.      Zaman  Pemerintahan Inggris  (1811-1816)

Sir Thomas Stamford Raffles ditetapkan menjadi Letnan Gubernur Jendral di Jawa dan daerah taklukannya. Pemerintahan Raffles mengalami kesulitan keuangan yang berp                                               engaruh pada angsuran pembayaran tanah-tanah yang dijual oleh Daendels. Demikian pula halnya dengan Mayor Han Kek Koo. Mayor Han Kek Koo berusaha sekeras-kerasnya untuk dapat melunasi pembayaran itu, dengan segala tindakan dan pemerasan terhadap rakyat yang serba kekurangan. Tekanan yang berat itu mengakibatkan meletusnya pemberontakan melawan “Babah Tumenggung”, pada tanggal 13 Mei 1813 M. (Kamis Pon, 12 Djumadil Awal 1740 Çaka).
Pada hari itu diadakan sebuah acara keramaian di rumah (dinas) Kabupaten Babah Tumenggung yang dihadiri juga oleh Pemimpin Pemerintahan Inggris di Probolinggo, Kolonel Prijser. Keramaian secara besar-besaran dengan jamuan makan, minum-minuman dan tari-tarian. Ketika itu berkobar pemberontakan di desa Kedopok, yang dipimpin oleh Ki Demang Wonosari.
Ki Demang Wonosari bernama Mbah Srendaka, berasal dari daerah Tengger. Wonosari sekarang dikenal sebagai (desa) Ngadisari. Pemberontakan tersebut dihadapi oleh Babah Tumenggung Han Kek Koo dengan tentaranya, serta diikuti juga oleh Kolonel Prisyer, dengan terjun langsung ke tempat peristiwa. Sungguh di luar dugaan, Ki Demang Wonosari meraih kemenangan di desa Muneng. Taktik yang digunakan Ki Demang Wonosari adalah dengan menggunakan perangkap, yakni menggali sebagian jalan (di area yang lazim disebut Asem Loros) di Muneng, diatasnya ditutup dengan tanah dan tumbuh-tumbuhan. Babah Tumenggung dan Kolonel Prijser tewas di tempat.
Ki Demang Wonosari dapat menguasi Kabupaten. Tetapi tidak lama, karena pada tanggal 20 Mei 1813, datang bala bantuan dari Pasuruan (ada yang menyebutkan dari Surabaya). Pertempuran kedua berkobar lagi di daerah antara Tongas dan Probolinggo. Ki Demang Wonosari mundur ke Wonosari (Ngadisari). Sesampainya di sana terus menghilang, yang hingga kini tiada terdapat makamnya.
Memerhatikan peristiwa tersebut, Raffles mengambil suatu kebijaksanaan untuk menebus kembali tanah-tanah itu dari ahli waris Mayor Han Kek Koo, sehingga daerah Probolinggo tidak lagi menjadi tanah partikelir. Dengan demikian penduduk Probolinggo terlepas dari adat kebiasaan yang berlaku dalam tanah-tanah partikelir, yaitu semacam perbudakan.


1.    Sekarang (saat buku ini diketik ulang) istilah “Kawedanan” sudah dihapus