1. Kyai Djojolelono, Bupati Pertama (1746-1768)
Pada tahun
1746, VOC mengangkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati pertama di Banger
(nama Probolinggo saat itu). Beliau adalah putra Kyai Boen Djolodrijo, Patih
Pasuruan.
Kyai Boen
Djolodrijo pernah dihukum oleh Kompeni dan kebetulan berkumpul dalam satu
penjara dengan Untung Suropati dan tahanan lainnya. Ada yang mengatakan, bahwa
beliau asalnya adalah keturunan Cina, yang namanya Kiem Boen. Beliau menjadi
pengikut setia, bahkan menjadi penasehat Untung Suropati dalam perjuangan
melawan Kompeni. Untung Suropati yang terkenal sebagai musuh utama Kompeni,
pada akhirnya dapat menduduki Pasuruan dan sekitarnya dan menjadi Bupati,
dengan gelar Tumenggung Wironagoro. Sedangkan Kyai Boen Djolodrijo ditetapkan
sebagai Patihnya. Dalam perjuangannya melawan Kompeni, Suropati akhirnya gugur
pada tahun 1706.
Sebagai
Bupati, Kyai Djojolelono mendapat gelar “Tumenggung”. Tetapi gelar itu tidak
dipakainya. Kantor Kabupaten berada di desa Kebonsari Kulon. Karena daerahnya
sangat miskin, pajak yang diberikan kepada Kompeni, hanya berupa tiga pikul
padi.
Pada saat
bersamaan, daerah Tengger merupakan daerah yang berdiri sendiri dan diperintah
oleh seorang Patih, bernama “Panembahan Semeru”. Bagi penduduk Tengger
(Ngadisari), Panembahan Semeru lebih dikenal dengan nama “Mbah Meru”, yang
menurut penuturan turun-temurun, pernah berselisih dengan “Kanjeng Banger”.
Sejarah
menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1723, hanya didaerah Tengger keturunan
Untung Suropati masih tetap terus menentang Kompeni. Berbeda dengan kebanyakan
tempat lainnya di Jawa yang keadaanya telah aman.
Dengan
demikian, besar kemungkinan bahwa Panembahan Semeru tersebut, adalah keturunan
Suropati, yang belum juga tunduk kepada Kompeni. Sekalipun pada umumnya pada
tahun 1743 Kompeni telah dapat menguasai seluruh daerah sebelah timur Pasuruan.
Tetapi khusus daerah Tengger, masih belum dapat ditaklukkan. Demikian pula
sangat mungkin bahwa Panembahan Semeru hanya dalam anggapan Kompeni sebagai
Patih yang berdiri sendiri.
Menggunakan
politik adu domba pihak Belanda yang terkenal, Kyai Djojolelono diajukan untuk
menghadapi Panembahan Semeru. Hal ini meneybabkan Kyai Djojolelono selalu dalam
suasana konflik dengan Panembahan Semeru. Pokok perselisihannya adalah
batas-batas daerah keduanya.
Suatu
ketika Kyai Djojolelono mengundang Panembahan Semeru untuk datang ke desa
Paras, dengan maksud merundingkan perbatasan daerahnya. Panembahan Semeru
menerima baik undangan dimaksud, dan hadir ke Paras dengan diiringi oleh
beberapa orang abdinya.
Kyai Djojolelono mengambil tempat duduk dekat Panembahan Semeru.
Perundingan belum dimulai, namun tiba-tiba Kyai Djojolelono menikam Panembahan
Semeru dengan kerisnya. Sesaat sebelum ajalnya tiba, Panembahan Semeru sempat
mengeluarkan kata-kata kutuknya: “Khianat! Akan mudah juga pembalasannya. Putra
Mahkota dari Surabaya akan membalasnya sebagai gantiku”. Sesudah itu mangkatlah
beliau. Jenazahnya dibawa pulang kembali oleh para abdinya. Makam Panembahan
Semeru (Mbah Meru) kini masih ada di desa Ngadisari yang disebut oleh penduduk
desa itu Makam Bakalan atau dinamakan juga Makam Kuasa.
Tempat tumpahan
darah Panembahan Semeru di desa Paras (Kecamatan Banyuanyar, Kawedanan[1] Gending sekarang), hingga kini masih ada
yang menghormatinya sebagai “Pepunden”.
Tempat itu terkenal dengan nama “Kramat Paras”, berupa batu paras
(padas), dengan ditumbuhi pohon beringin.
Dalam
kehidupan Kyai Djojolelono selanjutnya, dapat diteliti bahwa beliau juga
mewarisi darah ayahnya dalam menentang Kompeni (Belanda). Dapat diduga, bahwa
beliau menyesali tindakannya telah membunuh Panembahan semeru, karena tipu
muslihat Kompeni dengan cara adu domba sesama bangsanya. Timbul rasa menentang
terhadap segala tindakan Belanda. Sebagai bukti permusuhannya, akhirnya beliau
melepaskan jabatan Bupati itu, dengan menyingkir juga dari rumah Kabupaten
(pada tahun 1768). Beliau mengembara, yang mungkin beliau berusaha menyusun
kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap Kompeni.
Sangat
besar kemungkinannya, bahwa nama beliau “Djojolelono”, diambil dari tindakan
pengembaraan beliau itu.
Pada
akhirnya Kyai Djojolelono dapat ditangkap oleh Raden Tumenggung Djojonagoro,
Bupati pengganti beliau sendiri. Selanjutnya setelah wafat, beliau dimakamkan
di pesarean “Sentono”, di desa Mangunharjo. Banyak orang yang menganggap makam
Sentono makam keramat.
Mayor Han Kek Koo menjabat Bupati Probolinggo, yang mendapat sebutan
Babah Tumenggung. Kantor Kabupaten berada disebelah selatan Alun-alun, tempat
Kabupaten yang sekarang.
Dalam perkembangan penjualan tanah tersebut, Daendles memaksakan untuk
mengeluarkan uang kertas, yang terkenal dengan nama Uang Kertas Probolinggo (Probolinggo
Papier), tetapi tidak mendapat sambutan dan tanggapan yang baik dari rakyat
umumnya.
Karena sikapnya yang kejam dan kelobaan Daendles dirasakan berbahaya bagi
Pemerintahan Belanda, maka da dipanggil pulang kembali pada tahun 1811.
2. Zaman Pemerintahan Inggris (1811-1816)
Sir Thomas
Stamford Raffles ditetapkan menjadi Letnan Gubernur Jendral di Jawa dan daerah
taklukannya. Pemerintahan Raffles mengalami kesulitan keuangan yang berp engaruh pada angsuran
pembayaran tanah-tanah yang dijual oleh Daendels. Demikian pula halnya dengan
Mayor Han Kek Koo. Mayor Han Kek Koo berusaha sekeras-kerasnya untuk dapat
melunasi pembayaran itu, dengan segala tindakan dan pemerasan terhadap rakyat
yang serba kekurangan. Tekanan yang berat itu mengakibatkan meletusnya
pemberontakan melawan “Babah Tumenggung”, pada tanggal 13 Mei 1813 M. (Kamis
Pon, 12 Djumadil Awal 1740 Çaka).
Pada hari
itu diadakan sebuah acara keramaian di rumah (dinas) Kabupaten Babah Tumenggung
yang dihadiri juga oleh Pemimpin Pemerintahan Inggris di Probolinggo, Kolonel
Prijser. Keramaian secara besar-besaran dengan jamuan makan, minum-minuman dan
tari-tarian. Ketika itu berkobar pemberontakan di desa Kedopok, yang dipimpin
oleh Ki Demang Wonosari.
Ki Demang
Wonosari bernama Mbah Srendaka, berasal dari daerah Tengger. Wonosari sekarang
dikenal sebagai (desa) Ngadisari. Pemberontakan tersebut dihadapi oleh Babah
Tumenggung Han Kek Koo dengan tentaranya, serta diikuti juga oleh Kolonel
Prisyer, dengan terjun langsung ke tempat peristiwa. Sungguh di luar dugaan, Ki
Demang Wonosari meraih kemenangan di desa Muneng. Taktik yang digunakan Ki
Demang Wonosari adalah dengan menggunakan perangkap, yakni menggali sebagian
jalan (di area yang lazim disebut Asem Loros) di Muneng, diatasnya ditutup
dengan tanah dan tumbuh-tumbuhan. Babah Tumenggung dan Kolonel Prijser tewas di
tempat.
Ki Demang
Wonosari dapat menguasi Kabupaten. Tetapi tidak lama, karena pada tanggal 20
Mei 1813, datang bala bantuan dari Pasuruan (ada yang menyebutkan dari
Surabaya). Pertempuran kedua berkobar lagi di daerah antara Tongas dan
Probolinggo. Ki Demang Wonosari mundur ke Wonosari (Ngadisari). Sesampainya di
sana terus menghilang, yang hingga kini tiada terdapat makamnya.
Memerhatikan peristiwa tersebut, Raffles
mengambil suatu kebijaksanaan untuk menebus kembali tanah-tanah itu dari ahli
waris Mayor Han Kek Koo, sehingga daerah Probolinggo tidak lagi menjadi tanah
partikelir. Dengan demikian penduduk Probolinggo terlepas dari adat kebiasaan
yang berlaku dalam tanah-tanah partikelir, yaitu semacam perbudakan.